Apakah Jakarta Sudah Tidak Layak Huni?
Apakah Jakarta Sudah Tidak Layak Huni?
Apakah Jakarta Sudah Tidak Layak Huni?, Belakangan ini lagi rame berita tentang Jakarta
yang disebut sebagai kota besar
dengan polusi tertinggi nomor 1 di dunia.
Yang artinya,
udara di Jakarta tuh udah nggak sehat.
Kayak kebayang nggak sih,
lo tuh bisa jadi sakit
cuma gara-gara nafas doang.
Ini juga dibuktikan dari statement Pak Anies Baswedan di tahun 2020,
yang bilang kalau 5,5 juta kasus penyakit di Jakarta,
itu disebabkan oleh polusi udara.
Yang artinya,
cukup besar nih persentase penduduk Jakarta
yang pernah sakit gara-gara polusi udara,
dan itu 2 tahun lalu.
Nggak tahu sekarang udah membaik
atau malah memburuk.
Akhirnya gue jadi mikir sih, gitu
sebagai CEO Satu Persen,
jujur, gue juga sempet pengen tinggal di Jakarta.
Karena ya ini adalah kota besar, gitu
yang nggak pernah mati.
Semua hal tuh ada di sini,
termasuk juga dengan deal bisnis
maupun juga beberapa kali deal jadi pembicara,
sering banget di Jakarta.
Tapi, gua juga jadi mikir
setelah ngeliat berita ini kayak,
gua jadi mempertanyakan
Sebenarnya tinggal di Jakarta itu masih worth it nggak sih?
Apakah sekarang adalah saat yang tepat untuk meninggalkan Jakarta?
Sebenarnya, tempat tinggal mana sih yang terbaik?
Well, kalau misalnya lo punya pertanyaan yang sama,
sebagai gen Z gitu ya,
yang mungkin lo baru mulai kerja nih,
di artikel kali ini, gue bakal ngebahas beberapa fakta
dan opini gue seputar Jakarta.
Lo baca artikel ini sampai habis
biar lo dapat keseluruhan insight-nya.
Dan jangan lupa
buat nonton Satu artikel SetiapHari dari Satu Persen - Indonesian Life School
untuk lo supaya dapat insight dan pelajaran yang seru
dan juga asik tentang berbagai macam fenomena kehidupan.
Jakarta Dan Masalahnya
Oke, pertama kita coba breakdown dulu
masalah Jakarta satu persatu.
Kita mulai bahas dari masalah polusi udara.
Sebenarnya, kenapa sih polusi di Jakarta bisa separah itu?
Well, sekilas
mungkin kita bisa jawab kalau masalahnya disebabkan sama asap kendaraan.
Tapi, lo tau nggak sih
kalau sebenernya ada dugaan
bahwa asap kendaraan itu bukan penyebab terbesarnya.
Riset terbaru di tahun 2020 itu ngejelasin,
kalau kontribusi pencemaran udara terbesar di Jakarta
adalah emisi yang nggak bergerak.
Artinya, mulai kayak pembangkit listrik,
pabrik dan fasilitas industri lainnya.
Jadi, sesuatu yang emang udah di sana aja gitu,
nggak gerak-gerak kayak kendaraan atau mungkin diri lo sendiri.
Total itu ada sekitar 136 fasilitas industri beremisi tinggi
yang berdiri di radius 100 km pusat Jakarta.
Nah, 118 diantaranya itu berdiri, sebenarnya bukan di Jakarta,
tapi di Jawa Barat dan juga di Banten.
Yang artinya,
polusi Jakarta itu kayaknya sih kelihatannya
adalah kiriman dari tetangga-tetangganya.
Kondisi Jakarta juga semakin diperparah
dengan prediksi Badan Riset dan Inovasi Nasional
yang bilang kalau Jakarta itu bakal tenggelam di tahun 2050.
Alasannya banyak,
mulai dari climate change,
kenaikan permukaan laut
dan penurunan permukaan tanah juga.
Selain itu, kita juga tau
kalau misalnya Jakarta itu masih dihantui sama masalah sampah
yang berserakan di sungai-sungai,
yang akhirnya bikin banyak air yang terhambat,
tersumbat dan meluap ke daratan.
Sayangnya, kita nggak bisa menutup fakta
bahwa ya Jakarta masih jadi pilihan utama banyak orang
termasuk lo sebagai gen Z
buat mengadu nasib.
Mereka yang memilih tinggal di Jakarta
biasanya karena alasan pekerjaan,
karena ada peluang yang lebih baik,
ada gaji yang lebih besar,
UMR nya juga salah satu yang tertinggi di Indonesia
dan infrastruktur yang juga lengkap.
Alasan-alasan ini juga direpresentasikan
di film ‘Jakarta Vs Everybody’
yang diperankan sama Jefri Nichol juga.
Dan gua juga sempat mikir kayak gitu sih sebenarnya,
meskipun gue akhirnya memutuskan buat tinggal di dekat Jakarta,
di Bandung sih, ya.
Makanya event terdekat Satu Persen ini juga
di bulan Juli,
itu bakal di selenggarain di Bandung.
Sabi dicek ya, kalau misalnya mau datang.
Nah, karena alasan-alasan tadi,
akhirnya banyak orang yang memutuskan buat pindah ke Jakarta
dari daerah-daerah
dan bikin Jakarta jadi cukup padat,
bahkan bisa dibilang padat banget, sih.
Jakarta adalah kota dengan penduduk terbanyak di Indonesia,
dengan jumlah hampir 11 juta penduduk.
Angka ini cukup fantastis sebenarnya
kalo dibandingin sama peringkat keduanya,
misalnya Surabaya gitu ya,
yang jumlahnya sekitar tiga juta,
tiga kali lipatnya gitu.
Pak Anies juga bilang
kalau kepadatan penduduk Jakarta itu
sebenarnya 118 kali lipat lebih besar
daripada rata-rata nasional.
Jadi, udah udaranya nggak sehat,
langganan banjir,
padat penduduk,
macet parah,
harga rumah mahal,
semuanya mahal gitu ya,
dengan resiko sebesar itu,
apakah Jakarta sekarang masih layak untuk ditinggali?
Kota Vs Desa Mana Yang Leubih Baik
Well, buat ngejawab pertanyaan ini,
kita harus tau dulu sebenarnya
indikator yang membuat sebuah kota itu
bisa dibilang layak atau engga.
Indikator ini disebut ‘Most Livable City Index’.
Ada beberapa indeksnya gitu ya,
Pertama, ketersediaan sarana kebutuhan dasar
alias ada rumah, air, listrik.
Yang kedua, ada fasilitas publik,
transportasi,
taman kota,
fasilitas buat beribadah,
fasilitas kesehatan,
pendidikan, dan lain sebagainya.
Yang ketiga, ketersediaan ruang publik
dan tempat berinteraksi buat masyarakat.
Keempat, aman atau nggak.
Yang kelima, dukungan fungsi ekonomi, sosial, dan budaya.
Yang keenam adalah sanitasi.
Sebenarnya,
Jakarta itu memenuhi keenam indikator tadi.
Tapi masalahnya,
secara kualitas rata-rata,
Jakarta itu jadi salah satu yang terendah.
Yang artinya,
kita masih bisa tinggal di Jakarta,
tapi dengan kondisi yang bisa dibilang
nggak senyaman itu.
Bahkan, indeks tadi juga ngejelasin
kalau hidup di kota-kota kecil
bisa jadi lebih nyaman daripada tinggal di kota besar.
Nah, terus, yang jadi pertanyaan
apakah kita harus pindah
kalau misal udah hidup di Jakarta?
Atau jangan merantau, gitu?
Well, ya bisa aja sih.
Selain karena lebih nyaman,
tinggal di kota kecil atau pedesaan juga bisa mengurangi
resiko lo kena masalah kesehatan,
bahkan sampai ke kesehatan mental, cuy.
Ini juga dibuktiin dari satu penelitian
yang ngejelasin kalau tinggal di kota besar itu
bisa ningkatin resiko depresi sebesar 40%,
anxiety 20%,
dan dua kali lipat buat skizofrenia,
kesepian, dan juga stress.
Mungkin itu juga salah satu alasan
yang bikin pelanggan tetap Konseling dan Mentoring Satu Persen
ya banyaknya dari kota-kota besar.
Meskipun sisi positifnya
mungkin awareness lebih tinggi ya
di kota-kota besar.
Dan juga, ya awareness terhadap tools-tools digital,
karena Satu Persen cuma buka
at least sampai sekarang
konseling online.
Nanti kita bakal buka offline juga sih ya.
Tapi di sisi lain,
pindah ke kota kecil juga
nggak serta merta bikin hidup kita bebas dari masalah.
Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya.
Ada satu penelitian juga kok
yang ngejelasin kalau kondisi kesehatan penduduk desa itu
jauh lebih buruk daripada penduduk kota.
Infrastruktur dan fasilitas publik kota kecil atau pedesaan juga nggak selengkap itu.
Misalnya, mungkin iya gitu,
lo tinggal di Yogja lebih nyaman mungkin dari Jakarta.
Tapi, UMR Yogya itu setengahnya UMR Jakarta,
atau bahkan mungkin lebih rendah lagi.
Alias, lo kemungkinan bakal punya penghasilan yang jauh lebih kecil
kalau kerja di Yogya.
Jadi, ya plus minus ya,
dan itu cuma satu contoh.
Banyak juga contoh lain.
Kalau gue sebut,
Banyuwangi,
Lombok,
Bali gitu kan ya,
pasti ada plus minusnya lah.
Jadi Harus Tinggal Dimana?
Jadi, kalau yang jadi pertanyaan adalah
“Gue harus tinggal dimana?”
Kan jadi serba salah.
Well, itulah yang jadi alasan
kenapa memang gue dan Maoplens.com bikin artikel ini.
Gue mau nyoba ngejelasin beberapa tips
yang bisa jadi bahan pertimbangan lo kedepan.
Disclaimer juga,
tips yang gue kasih ini berdasarkan hasil analisa
yang digabungkan dengan opini gue dan Satu Persen.
Kita bisa ngapain dong?
Well, ada banyak sebenarnya yang bisa dilakuin.
Kalau misalnya lo mau berdampak beneran
dan lo ngerasa udah privileged enough,
maksudnya lo udah ngerasa nyaman lah
tinggal di satu tempat,
ya kita bisa coba untuk ngebantu yang lain sih,
dengan advokasi ke pemerintah.
Yang kedua, kalau kita punya power
atau punya perusahaan mungkin ya,
atau punya jabatan di suatu perusahaan,
kita juga bisa bikin kebijakan perusahaan
jadi lebih friendly terhadap lingkungan.
dan lain sebagainya gitu kan.
Karena ternyata faktor terbesarnya adalah
dari pemegang kekuasaan, ya kan?
Kalau dilihat masalah terbesarnya dari si pabrik,
dan solusi paling enak sebenarnya
ya memang dari pemegang kekuasaan juga,
which is si pabrik-pabrik ini
atau pemerintah.
Tapi, ya akun Satu Persen bukan akun advokasi, gitu kan.
Kita kan Life School.
Kita juga nggak ngebahas soal lingkungan yang begitu banyak.
Kita udah bikin sebenarnya
satu akun khusus di Instagram,
namanya @sipalinggenz
nanti bakal muncul dimana-mana juga,
yang memang ngebahas khusus soal isu lingkungan
dan isu masa depan.
Lo bisa follow ke sana aja ya,
kalau misalnya lo tertarik
buat ngebahas soal lingkungan atau masa depan.
Nah, di artikel kali ini,
gue dan Satu Persen,
sebagai life school,
pengen lebih fokus ke hal praktis.
Sebagai sekolah kehidupan,
ya kita pengen ngasih petuahnya secara individu.
Gimana sih lo sebagai individu bisa merespon situasi saat ini?
Well, ada beberapa,
Pertama,
dengan banyaknya plus minus terkait dengan tempat tinggal,
ya sebenarnya hak lo kan,
lo mau tinggal dimana.
Tapi, lo bisa pahami sih
kebutuhan lo yang sebenarnya itu apa.
Buat lo yang udah tinggal di Jakarta,
atau di manapun,
coba refleksi lagi deh
“Kenapa ya gue tinggal di sini?"
“Ada urgensinya nggak sih gue tinggal di sini?”
Kalau alasannya cukup urgent buat lo,
mungkin lo bisa lebih memantapkan diri.
Kayak misalnya lo pilih tinggal di Jakarta.
Tadi banyak minusnya kan,
kayak kurang sehat,
banyak masalah,
tapi ada banyak plusnya juga.
Jakarta juga punya fasilitas dan infrastruktur yang lebih oke
dan mungkin bisa lebih menunjang kebutuhan lo.
Lo bisa consider
yang mana sih yang bisa lo dijadiin prioritas,
at least untuk sekarang
dan juga untuk nanti di masa depan.
Kalau masalah kesehatan
ya mungkin berarti pros and cons nya
bisa lo terapkan solusi,
kaya misalnya lo pakai masker tiap keluar rumah.
mau ada Covid mau nggak,
pakai masker.
Jalani pola hidup sehat gitu ya,
olahraga,
nge-gym dan lain sebagainya
dan makan makanan sehat
buat mengurangi resiko tinggal di Jakarta
yang notabene mungkin nggak sehat,
banyak fast food
dan lain sebagainya.
Meskipun praktis,
ini adalah hal yang mesti lo perhatikan
biar nanti lo sehat.
Lo juga bisa liat kebutuhan lo berdasarkan kurikulum Satu Persen.
Coba cek deh,
tes online-nya gratis di website satupersen.net.
Cek dari level 1 sampai dengan 4.
Karena sebenarnya, banyak kok opsi lain
kalau memang itu bukan prioritas lo
untuk tinggal di Jakarta
atau di suatu tempat,
di desa misalnya.
Kalau memang udah jenuh,
lo bisa pikirin untuk tinggal di tempat lain.
Toh sekarang udah zaman kan,
jadi digital nomad.
Lo udah zaman work from anywhere,
work from home,
work from.. wah dimana pun lah.
Satu Persen pun,
kita karyawannya tersebar.
Ada yang di Medan,
ada yang dimana, ada yang dimana gitu kan.
Meski sesekali kita ya kadang
work from office juga
buat ngumpul-ngumpul dan lain sebagainya.
Tapi ya, ada loh
perusahaan-perusahaan kayak Satu Persen
yang ngasih opsi yang berbeda lah
dengan perusahaan-perusahaan yang sekarang udah mulai WFO.
Jadi, lo juga bisa menyesuaikan diri nih
untuk bisa masuk mungkin
ke perusahaan-perusahaan tertentu.
Ya karena pasti recruitment-nya juga
mungkin sedikit berbeda
dan lo mungkin mesti mempelajari
hal yang tidak dipelajari
ketika lo mungkin kerja di perusahaan yang memang WFO.
Lo mesti tau tools digital,
lo mesti tau etika meeting online
dan lain sebagainya.
Itu yang pertama.
Kedua, gue sangat menyarankan lo buat bikin rencana,
semacam life plan.
Karena lo nggak selamanya kan bakal tinggal di sana,
tinggal di kota lo sekarang.
Mungkin kedepannya lo bakal pindah-pindah,
mungkin kedepannya lo bakal gatau ya,
ke luar negeri.
Atau mungkin, gue nggak tau sih
bedalah prioritas masing-masing.
Karena dengan kayak gitu,
kebutuhan lo akan tempat tinggal yang ideal
bakal semakin keliatan jelas.
Misalnya, lo pengen jadi pebisnis
yang punya kantor dan menangani client internasional,
ya menurut gue sih
kota besar kayak Jakarta,
Surabaya,
Bandung
itu lebih ideal dibandingkan kota kecil.
Karena ya banyak lah infrasturktur MICE,
untuk meeting,
untuk banyaklah acara,
konferensi dan lain sebagainya.
Meskipun kota kecil sebenernya bisa,
tapi peluangnya
dan ya investasinya
dan lain sebagainya
mungkin nggak akan sebesar di Jakarta.
Tapi, kalau karier impian lo adalah
sesuatu yang sebenarnya lo bisa online,
lo butuh ketenangan,
lo butuh kenyamanan lebih,
lo butuh udara yang segar,
lo butuh liat hijau-hijau lebih banyak,
mungkin lo bisa consider
buat tinggal di kota kecil atau pedesaan.
Apalagi sekarang zamannya udah banyak
tadi gue bilang WFA,
bisa kerja dimana aja yang penting ada internetnya.
Ya jangan tinggal di tempat yang nggak ada internet berarti, kan.
Atau lo bisa lihat potensi kedepannya,
“Oh kira-kira bakal ada internet nih di sini”,
nah, lo bisa pilih tempat tinggal di sana.
Epilog
Nah, gue paham
masalah tempat tinggal itu memang menyangkut sama banyak hal.
Keputusan karir,
pekerjaan,
pertemanan,
pasangan.
Ini adalah salah satu keputusan terbesar
yang bisa menentukan bahkan privilege lo.
Lokasi itu bisa nentuin banyak banget.
Post a Comment for "Apakah Jakarta Sudah Tidak Layak Huni?"